Penulis Martha -26 Desember 2019 Share
Oleh :
Nadir Ilham Ramadhan, Yuda Dani Anugrah, Eky Sepriza dan Steffani Novintari (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung)
Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan pada Pancasila, maka pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum harus pula memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Penjabaran butir-butir nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu kewajiban dan harus dilakukan secara sistematis, keseluruhan berkaitan, tidak hanya dari segi substansi, namun juga dari segi esensi, struktur dan budaya hukumnya.
Termaktub pula tujuan dari Negara Indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 salah satunya adalah untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Tentu untuk mensejahterakan seluruh rakyat ada banyak cara dan segi yang efektif salah satunya adalah pembangunan.
Pembangunan merupakan salah satu sarana untuk mensejahterakan rakyat, oleh sebab itu setiap negara termasuk Indonesia dapat dipastikan selalu giat untuk melakukan kegiatan pembangunan, salah satunya adalah pembangunan untuk kepentingan umum.
Pembangunan untuk kepentingan umum pada dasarnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas agar tercapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia secara merata, hal tersebut merupakan tanggung jawab yang ada pada pundak Pemerintah. Pembangunan yang dilakukan di Indonesia adalah kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dengan menggunakan tanah Negara akan tetapi karena semakin pesatnya pembangunan di Indonesia maka membutuhkan tanah yang banyak sedangkan tanah Negara sangat terbatas akibat pesatnya pembangunan. Dengan demikian maka saat ini ada kebijakan untuk menggunakan tanah milik masyarakat yang pada dasarnya melekat hak milik atas tanah. Salah satu tanah yang digunakan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sering menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat pemegang hak atas tanah.
Hak milik atas tanah merupakan salah satu hak atas tanah yang terkuat, terpenuh, dan bersifat turun temurun. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak memiliki batas waku tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas jika dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas jika dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.
Hak milik atas tanah sendiri merupakan bagian dari hak asasi manusia, oleh sebab itu hak milik atas tanah yang dipegang oleh seseorang tidak dapat diambil alih secara sewenang-wenang, termasuk oleh pemerintah sekalipun. Pun demikian, dalam menggunakan haknya, pemegang hak milik atas tanah tidak dapat menggunakan haknya secara sewenang-wenang pula, namun harus memperhatikan fungsi sosial yang melekat pada hak milik atas tanah. Hal ini mengingat pada ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Fungsi sosial yang melekat pada hak milik atas tanah tidak berarti pemegang hak milik harus selalu bersedia melepaskan haknya tersebut begitu saja ketika berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Harus ada keseimbangan antara kepentingan masyarakat yang lebih luas dengan kepentingan pemegang hak atas tanah. Ketika pemegang hak milik atas tanah harus melepaskan haknya untuk kepentingan umum, maka harus ada ganti rugi yang layak sehingga pemegang hak atas tanah tidak dirugikan.
Namun apabila kita melihat fakta yang terjadi, masih banyak pemegang hak milik atas tanah yang dirugikan ketika berhadapan dengan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum karena pengadaan tanah tidak berlaku layak dan adil atau bias dikatakan ganti rugi yang diterima masyarakat seringkali tidak proporsional atau tidak sesuai dengan sebagaimana mestinya. Peraturan Perundang-undangan mengenai pengadaan tanah bagi pelaksanapembangunan bagi kepentingan umum yaitu UU NO 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum belum mampu menjawab mengenai hal tersebut. Selain mekanisme pemberian ganti rugi dan besaran ganti rugi yang seharusnya diberikan kepada masyarakat belum bisa menjamin kelayakan dan keadilan bagi pemegang hak atas tanah. Tentu saja pengadaan atas tanah harus layak dan adil, adil adalah ketika dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum pemerintah melakukan mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan mengenai pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, mulai dari musyawarah hingga pemberian ganti rugi.
Peraturan mengenai pengadaan tanah sendiri belum dapat dikatakan memihak dan memberikan keadilan bagi pemegang hak atas tanah, sehingga secara otomatis ketika pemerintah melaksanakan peraturan tersebut maka tidak dapat dikatakan pemerintah telah berlaku adil. Belum lagi ditambah jika dalam pelaksanaan pengadaan tanah, pemerintah melakukan penyimpangan dari peraturan yang ada. Dapat dibayangkan betapa tidak adilnya perlakuan yang diterima oleh para pemegang hak atas tanah. Seharusnya jika memang pengadaan tanah itu untuk kepentingan umum maka haruslah pula memperhatikan pemilik tanah tersebut sudah sesuaikah ganti rugi yang diberikan untuk pemegang hak milik atas tanah karena apabila tidak sesuai maka akan terjadi perselisihan antara pemegang hak milik atas tanah dengan pemerintah.
Maka untuk meminimalisir perselisihan yang akan terjadi, penegakan hukum pengadaan tanah harus berlaku layak dan adil dan sesuai dengan UUPA No 5 Tahun 1960 dan UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan pembangunan yang dilakukan untuk kepentingan umum tersebut dapat terlaksana. Dalam artian bahwa penegakan hukum haruslah sesuai dengan regulasi dan legitimasi peraturan yang ada serta hukum harus berjalan dengan efektif agar tidak ada ketimpangan . Hukum tidak boleh berat sebelah karena prinsip hukum adalah agar terciptanya kemanfaatan dan keadilan agar tidak ada kata-kata “hukum tumpul keatas tetapi tajam kebawah”, sehingga apabila pengadaan tanah sudah layak dan adil maka akan tercipta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi sengketa yang dialami masyarakat yang tidak mendapatkan hak nya terkait ganti rugi yang adil karena selalu bersengketa dan berbenturan dengan instansi pemerintah atas pengadaan tanah yang dinilai tidak proporsional dan adil adalah dengan membuat regulasi yang tepat yakni dengan menerbitkan Perpu, PP, atau Perpres. Tentunya hal itu akan menjadi penyempurna isi dari Undang–Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Hal-hal yang demikian harus diatur adalah mengenai batas waktu mekanisme penyelesaian sengketa antar warga atau dengan instansi pemerintah dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan adanya regulasi ini (Perpu/PP/Perpres/Kepres) Pengadilan memiliki batas waktu untuk penyelesaian hukumnya serta ada kepastian hukum dan pembebasan tanah akan menjadi selesai dan tuntas.