Penulis Martha -30 Desember 2019 Share
Oleh :
Kadek Astike, Ardy Harisma Putra, Alfonsus Demitrio Jehanu, Dicky Janu. (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung)
Tanah sebagai tempat berpijaknya kehidupan manusia tentunya sangat penting dan berarti. Bagi masyarakat Indonesia memiliki dan menguasai tanah adalah hal yang sangat menentukan dalam meningkatkan perekonomian. Di Indonesia sendiri kepemilikan tanah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, kepemilikan tersebut disebut dengan Hak Milik atas Tanah. Hak Milik atas Tanah merupakan ha katas tanah yang terkuat, terpenuh, dan bersifat turun temurun.
Di Indonesia sangat sering terjadi Sengketa tanah yang diakibatkan adanya tumpang tindih penguasaan hak atas tanah yang terbit diatas tanah tersebut. Ada beberapa factor lain yang menyebabkan timbulnya sengketa tanah, diantaranya persedian tanah terbatas, sedangkan kebutuhan penduduk atas tanah terus meningkat, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, pembangunan dan pemanfaatan tanah, tanah terlantar dan resesi ekonomi, persepsi dan kesadaran hukum masyarakat terhadap penguasaan dan kepemilikan tanah, kelalaian petugas dalam pemberian dan pendaftaran ha katas tanah, system peradilan, lemahnya system administrasi pertanahan, tidak terurusnya tanah-tanah asset instansi pemerintah.
Pada dasarnya, Sertifikat hak milik adalah bukti penguasaan hak tanah terkuat, namun dalam pendaftaran hak tersebut harus tetap berdasarkan pada Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada kenyataannya, masih banyak tanah di Indonesia yang tidak didasari dengan Sertifikat Hak Milik sebagai bukti hak penguasaan atas tanah, mengingat begitu luasnya wilayah pertanahan Indonesia. Artinya kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya untuk dijadikan hak Milik yang tetap masih sangat kurang. Salah satu tanah yang tidak beralaskan hak milik dapat disebut dengan tanah garapan.
Definisi tanah garapan menurut Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (“SK Kepala BPN”) adalah sebidang tanah yang sudah atau belum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa persetujuan yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu. Untuk tanah garapan yang sudah dilekati dengan sesuatu hak, jika hak tersebut adalah hak milik tentunya tidak bisa didaftarkan menjadi hak milik oleh penggarap.Karena sesuai dengan Pasal 20 Ayat (1) UUPA hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh. Kecuali hak milik tanah tersebut sudah jatuh kepada negara sesuai dengan pasal 27 huruf a UUPA.
Sedangkan untuk tanah garapan yang belum dilekati dengan sesuatu hak, bisa langsung didaftarkan menjadi Hak Milik dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) . Tanah garapan biasanya didapatkan karena adanya pelepasan hak dari pemilik tanah sebelumnya atau status hak tanah tersebut hapus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Apabila tanah garapan tidak dilakukan pendaftaran hak diatasnya, maka akan ada kemungkinan dilakukannya tindakan dari pihak lain untuk mendaftarkan tanah tersebut menjadi hak miliknya. Hal tersebut dapat terjadi lantaran adanya kesempatan untuk melakukan penyerobotan hak atas tanah yang tidak memiliki hak yang kuat diatasnya.
Sementara Pasal 32 ayat (2) Peratura Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997) menyatakan: “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersang-kutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut”.
Dengan kata lain, orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak di-keluarkannya sertipikat itu dia tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapat persetujuannya.
Berdasarkan uraian di atas maka jelas, secara prinsip orang yang menelantarkan tanah bisa kehilangan hak atas tanahnya tersebut, dan bisa dituntut kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun. Bila dengan lewatnya jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat hak atas tanah (atas nama pemilik yang baru) maka hapus hak menuntut dan sertipikat tersebut tidak dapat diganggu gugat lagi.
Berdasarkan keputusan menteri Agraria tanggal 22 agustus 1961 no. 509/Ka yang menjelaskan secara gamblang tentang penguasaan penuh yang dilakukan pemerintah atas bagian bagian tanah yang luas. Peraturan pemerintah no 22 tahun 1961 yaitu tepatnya pada tanggal 19 sepember 1961 yang menyatakan dengan jelas bahwa pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian secara cuma cuma dan dibebaskan atas pembayaran apapun kepada para penggarap tanah dan dapat diijinkan untuk tetap menggarap dengan menjalankaan segala syarat yang berlaku oleh keputusan pemerintah. Artinya untuk menghindari terjadinya sengketa tanah atau kesalahpahaman hak milik, maka jangka waktu berlakunya surat izin yang diberlakukan untuk menggarap adalah hanya sampai 2 tahun saja dihitung sejak tanggal dikeluarkannya surat izin itu sendiri. Dan bila jangka waktu yang telah diberlakukan berakhir maka dapat diberikan secara resmi hak atas tanah seiring syarat syarat yang berlaku telah selesai dipenuhinya dengan baik.
Dalam keputusan residen Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang pokok-pokok kebijaksanaandalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak-hak barat, bagi penggarap yang telah menguasai dan mengolah tanah garapannya dapat mengajukan dirinya untuk diberikan hak baru apabila memenuhi syarat-syarat.
Dengan demikian, Tanah garapan yang tidak memiliki hak milik diatasnya seharusnya didaftarkan kepemilikannya ke Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran tersebut dilakukan guna menghindari adanya pengambilan hak tanah oleh pihak lain yang memiliki kepentingan diatas tanah. Adapun prosedur pendaftaran tanah garapan menjadi tanah hak milik sama seperti kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang diatur dalam Pasal 12 PP 24/1997, meliputi: pengumpulan dan pengolahan data fisik; pembuktian hak dan pembukuannya; penerbitan sertifikat; penyajian data fisik dan yuridis dan penyampaian daftar umum dan dokumen
Hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan prosedur melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) adalah mengetahui kesesuaian peruntukan tanah tersebut dengan rencana tata ruang daerah tanah tersebut melalui kelurahan, kantor desa, atau kecamatan. Dan dalam hal tanah garapan yang belum dilekati dengan sesuatu hak harus dipastikan terlebih dahulu melalui kantor desa atau kelurahan tanah tersebut bahwa tanah tersebut memang belum pernah didaftarkan sebelumnya oleh orang atau badan hukum lain.
Mengenai biaya pendaftaran tanah garapan tersebut tergantung wilayah dan luas tanah.Karena biaya masing-masing wilayah di Indonesia berbeda.Jadi ada baiknya bilaAnda mendatangi kantor PPAT/ kantor BPN dimana tanah tersebut berada.